Anugerah Terindah

RSS

Senin, 09 Mei 2011

KLASIFIKASI HADIS DI TINJAU DARI SEGI KUANTITAS DAN KUALITASNYA

PENDAHULUAN
Pada awalnya Rasulullah S.A.W melarang sahabat untuk menulis hadis, karena dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur'an. Perintah untuk menuliskan hadis yang pertama kali oleh khalifah Umar bin Abdul Azis. Beliau penulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alsory untuk membukukan hadis. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah. Akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan para sahabat).
Sebagian orang bingung termasuk kelompok kami melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi kebingungan itu kemudian sedikit  menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja.
Hadis memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan tersendiri. Dalam makalah ini akan dikemukakan pembagian hadis dari tinjauan kuantitas dan kualitasnya. Kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan, baik dari kawan-kawan maupun dosen pengampu.
II. PEMBAHASAN
A. HADIS DITINJAU  DARI  SEGI  KUANTITASNYA
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitasnya. Maksudnya di tinjau dari segi kuantitas adalah dengan menyelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadis. Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadis mutawatir, masyhur dan ahad; dan ada juga yang membaginya hanya menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan ahad.
Pendapat pertama,yang menjadikan hadis masyhur berdiri sendiri,tidak termasuk pembagian hadis ahad, dianut oleh sebagian ulama usul diantaranya adalah Abu Bakar Al- Jassas ( 305-370 H),  sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh kebanyakan ulama usul dan ulama kalam. Menurut mereka hadis masyhur bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadis ahad. Mereka membagi hadis menjadi dua bagian, yaitu mutawatir dan ahad.[1]
1. HADIS MUTAWATIR
a. Pengertian Hadis Mutawatir
Kata mutawatir menurut lughat (bahasa) ialah “mutatabi” yang berarti beriringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah hadis yang di riwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat/kebiasaan mustahil atau tidak mungkin mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta yang berdasarkan dengan panca indra.[2]
Hadis yang tidak dapat dikategorikan dalam hadis mutawatir yaitu segala berita yang diwirayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindra, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang baik maupun yang tercela, juga segala berita yang diwirayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadis yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi S.A.W. maka jalan penyampaian  hadis itu harus  dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadis tersebut.
Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadis ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu  dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadis itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampain itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadis Mutawatir
1. Diwirayatkan oleh sejumlah perawi;
2. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) yang sama;
3. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk berdusta;
4. Sandaran hadis mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka, pendengaran dan penglihatan, misalnya ungkapan periwayatan:
-“Kami mendengar [dari Rasulullah bersabda begini]
-“Kami  melihat [Rasulullah melakukan begini dan seterusnya].
Hadis mutawatir ini memberikan informasi yang pasti (qatb’i al-tsubut) sama seperti Al-quran dan merupakan tingkatan hadis yang tinggi wajib diamalkan. Orang yang mengingkari hadis ini dianggap kafir. Hadis mutawatir terbagi kepada tiga bagian:
1.   Mutawatir lafzi : yaitu suatu hadis yang diwirayatkan oleh banyak perawi sejak dari awal sampai akhirnya dimana masing-masing perawi meriwayatkannya dengan lafaz yang sama. Contoh hadis mutawatir lafzi adalah sabda Rasulullah S.A.W : Artinya : “ Rasulullah S.A.W, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka” (HR. Bukhari dan lainnya). “[3]
2.  Mutawatir ma’nawi : yaitu hadis mutawatir yang berlainan bunyi lafaznya, tetapi kembali kepada makna yang sama. Contohnya adalah hadis-hadis mengenai syafa’at Nabi Muhammad S.A.W mengenai melihat Tuhan, keluarnya air dari sela-sela jari Nabi, mengenai Nabi mengangkat tangan ketika berdoa dan sebagainya.
3.  Mutawatir  ‘amali : yaitu sesuatu yang diketahui dengan mudah dan telah mutawatir dalam kalangan islam, bahwa Nabi ada mengerjakan atau menyuruhnya, seperti berita atau hadis tentang waktu sholat dan bilangan raka’atnya.
c. Kehujjahan Hadis Mutawatir  
Kehujjahan hadis mutawatir sudah diakui oleh semua ulama, maka hadis mutawatir harus di terima dan wajib diamalkan karena tingkat hadis yang paling teratas dan sudah teruji kebenarannya. Hadits mutawatir telah disepakati oleh ulama, oleh karenanya dapat di jadikan hujjah dan wajib mengamalkannya hadis muatawatir di anggap qath’iy.[4]
2. HADIS AHAD
a. Pengertian Hadis Ahad
            Kata ahad atau wahid berdasarkan dari segi bahasa berarti satu, maka khabar ahad atau khabar wahid berarti suatu berita yang di sampaikan oleh satu orang.
            Adapun yang di maksud hadis ahad menurut istilah ialah banyak di definisikan oleh para ulama salah satunya ialah khabar yang jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir.[5]
Hadis  ahad juga dibagi dari sudut pandangan diterima atau ditolaknya kepada dua bagian yaitu:
§  Hadis maqbul : Yaitu hadis yang dapat diterima bila memenuhi syarat-syarat yang lebih ditentukan oleh ulama hadis.
§  Hadis mardut : Yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat diterimanya  suatu hadis,oleh sebab itu hadis ini ditolak.
Pembagian hadis ini hanya berlaku  pada selain hadis mutawatir, karena hadis mutawatir seluruhnya dapat  diterima dan tidak ada yang ditolak. Oleh karena itu penerimaan atau penolakan sebuah hadis tersebut terposisikan pada hadis ahad. Dengan kata lain, hadis ahad tersebutlah yang terbagi pada diterima atau ditolaknya suatu hadis.
b. Pembagian Hadis Ahad
1. Hadist Masyhur (Hadist Mustafidah)
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar.
Contoh hadist masyhur (mustafidah) adalah hadist berikut ini :  Artinya: “ Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmidzi) “
2. Hadist Gharib
Hadist gharib menurut bahasa berarti hadist yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad[6].
Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.
Contoh hadist gharib itu antara lain adalah hadist berikut: Artinya: “Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain) “[7]
3. Hadis Aziz
            Para ulama memberikan pengertian dan batasan hadis aziz yaitu hadis yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, meskipun dua orang rawi itu pada satu tingkat saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.
            Dari batasan di atas, dapat di pahami bahwa bila suatu hadis pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang rawi dan setelah itu diriwayatkan lebih dari dua orang rawi, maka hadis itu tetap saja dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadis aziz.[8] Contoh hadis aziz yang artinya : “Rasulullah S.A.W bersabda : “Kita adalah orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari kiamat.”[HR. Huzaifah dan Abu Hurairah]
B. HADIS  DI TINJAU  DARI  SEGI  KUALITASNYA
            Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya. Dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi dan seterusnya.
            Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah ingatanya.[9]
Para  ulama’ hadis membagi tiga term bagian hadis, yaitu hadis shahih, hadis hasan dan hadis dha’if.
1. Hadis Shahih
a. Definisi
Shahih menurut bahasa adalah lawan dari sakit. Shahih menurut istilah ilmu hadist adalah hadist yang sanadnya  bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki kemampuan menghafal yang baik dan sempurna (dhabit), serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya dan tidak ada ilat yang berat.[10]
            Para ulama mendefinisikan hadis shahih yaitu hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dabit sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal dan tidak mengandung cacat (illat).[11]
b. Syarat-syarat Hadis Shahih
Dari beberapa definisi hadis shahih yang telah disepakati para ulama’ ahli hadis dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadis shahih adalah sebagai berikut :
1. Sanadnya bersambung
            Maksudnya adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung seperti itu sampai akhir sanad dari hadis itu.
2. Perawinya Adil
            Maksudnya adalah orang yang lurus agamanya, baik budi pekertinya dan bebas dari kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan keperawiannya.
3. Perawinya Dhabit
            Maksudnya adalah orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadis, faham ketika mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya. Seorang perawi bisa dikatakan dhabit apabila ia mempunyai daya ingat sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.
4. Tidak Syadz (janggal)
            Maksudnya (syadz) adalah kondisi dimana seorang perawi berbeda dengan perawi lain yang lebih kuat posisinya. Keadaan semacam ini di pandang janggal/rancu karena ia berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak sehingga di unggulkan.
5. Tidak ada Cacat[12]
            Illat berarti suatu sebab tersembunyi atau samar-samar, sehingga dapat merusak keshahihan hadis. Adanya kesamaran pada hadis tersebut mengakibatkan kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan demikian maka yang dimaksud hadis yang tidak berillat ialah hadis-hadis yang didalamnya tidak kesamaran atau keragu-raguan.
b. Pembagian hadis shahih
Hadis shahih terbagi menjadi dua yaitu shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi.
·         Shahih li dzatihi adalah hadis shahih yang memenuhi syarat-syaratnya dengan maksimal.
·         Sedangkan shahih li ghairihi adalah hadis shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal.
2. Hadis Hasan
a. Definisi
Hadist Hasan menurut bahasa artinya baik dan bagus. Sedangkan menurut istilah artinya hadist yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, kurang dhabitnya, serta tidak  ada  syadz dan ilat yang berat.
Dengan demikian, yang di maksud hadis hasan ialah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawinya atau sebagiannya kedhabitannya lebih rendah dibanding kedhabitan perawi hadis shahih.
b. Pembagian Hadis Hasan
            Ada dua macam hadis hasan, yaitu :
·         Hadis hasan lidzatihi               : Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan di atas.
·        Hadis hasan li ghairihi            : Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan hadis hasan  secara sempurna.
3. Hadis Dha’if
a. Definisi
            Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syaratnya bisa diterima. Mayoritas ulama’ menyatakan hadis dha’if yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih maupun syarat-syarat hasan.
b. Pembagian Hadis Dha’if
1. Dha’if dari segi persambungan sanadnya
  • Hadits Mursal : hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi’in.
  • Hadits Muallaq : hadits yang gugur (inqitha’) rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
  • Hadits Mudal : hadits yang gugur dua orang rawi atau lebih secara beriringan dalam sanadnya.
  • Hadits Munqathi’ : hadits yang terputus/gugur satu atau dua rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya.
2. Dha’if dari segi cacat pada rawi atau matan
  • Hadits Maudhu’ : hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu disengaja maupun tidak.
  • Hadits Matruk : hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
  • Hadits Munkar : hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah yang menyalahi (berlawanan dengan) rawi yang kuat (kepercayaan).
  • Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi pemutar balikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
  • Hadits Syadz (kejanggalan) : hadis yang diriwayatkan oleh orang yag maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.   
III. KESIMPULAN
Pembagian hadist dari segi kuantitas :
1. Hadist mutawatir
    Mutawatir terbagi 2 :      - Mutawatir lafzi      - Mutawatir ma’nawi
2. Hadist ahad
    Hadist ahad terbagi 3 :      - Masyhur      - Gharib      - Aziz
Pembagian hadist dari segi kualitas :
1. Shahih
2. Hasan
3. Dhaif
Hadist dha’if  dari segi persambungan sanadnya
1. Mursal
2. Mu’allaq
3. Mu’dal
4. Munqati

Hadist dha’if sebab cacat pada rawi
atau matan
1. Hadist maudhu’
2. Hadist matruk
3. Hadist munkar
6. Hadist maqlub
5. Hadist  syadz



[1] Drs.H. Mudasir, Ilmu Hadis—Bandung : Pustaka Setia, 1999. Hal. 113
[2] Drs.H. Mudasir, Ilmu Hadis—Bandung : Pustaka Setia, 1999. Hal. 114
[3] Muhammad  Ahmad, Drs,.H, Mudzakir, Drs,.M, Ulumul Hadis, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hal. 89

[4] Subhi As-Shalihin, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009
[5] Muhammad  Ahmad, Drs,.H, Mudzakir, Drs,.M, Ulumul Hadis, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hal. 93
[6] Muhammad  Ahmad, Drs,.H, Mudzakir, Drs,.M, Ulumul Hadis, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hal. 96
[7] http://hitsuke.blogspot.com/2009/07/klasifikasi-hadis-berdasarkan-kuantitas.html
                                                                                                                         
[8] Muhammad  Ahmad, Drs,.H, Mudzakir, Drs,.M, Ulumul Hadis, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hal. 95
[9] Muhammad  Ahmad, Drs,.H, Mudzakir, Drs,.M, Ulumul Hadis, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hal. 75-76
[10] http://sayaituadi.wordpress.com/2011/02/07/hadits-di-tinjau-dari-segi-kuantitasnya/

[11] Muhammad  Ahmad, Drs,.H, Mudzakir, Drs,.M, Ulumul Hadis, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hal. 101
[12] Al-Khatib, Ajjaj, Ushul Al-Hadits, Gaya Media Pratama, Semarang, 1997, Hal.276

Tidak ada komentar:

Posting Komentar