A. Definisi Pragmatisme
Menurut Kamus Ilmiah Populer, Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pengamatan penyelidikan dengan eksperimen (tindak percobaan), serta kebenaran yang mempunyai akibat-akibat yang memuaskan. Sedangkan definisi Pragmatisme lainnya adalah hal mempergunakan segala sesuatu secara berguna.[1]
Pragmaisme berasal dari bahasa Yunani yaitu kata pragma yang arinya guna. Maka Pragmaisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membukikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Misalnya berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Bagi pragmatisme tidak dikenal istilah metafisika, karena mereka tidak pernah memikirkan hakikat dibalik realitas yang dialami dan di amati oleh panca indra manusia.[2]
Karena itu, pramatisme dapat berarti pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoretis atau ideal; hasilnya dapat dimanfaatkan, langsung berhubungan dengan tindakan, bukan spekulasi atau abstraksi. Akan tetapi, pragmatisme juga dapat berarti aliran filsafat.[3]
B. Latar Belakang Pragmatisme
Pragmatisme telah membawa perubahan yang besar tehadap budaya Amerika dari lewat abad ke 19 hingga kini. Pada awal perkembangannya, Pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengatahuan dan filsafat agar filsafat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia.
Sehubungan dengan masalah tersebut, Pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metode yang memecahkan berbagai perdebatan filosofis metafisik yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno (Guy W.Stroth: 1968). Dalam usahanya (filsuf) untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi bahasan berbagai filosofi itulah pragmatisme menemukan suatu metode yang spesifik (metode khusus) yaitu dengan mencari konsekuensi praktis dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang di anut masing-masing pihak. Metode tersebut di terapkan dalam setiap bidang kehidupan manusia. Karena pragmatisme adalah suatu filsafat tentang tindakan manusia maka setiap bidang kehidupan manusia menjadi bidang penerapan dari filsafat pragmatisme. Pada akhirnya filsafat ini lebih terkenal sebagai suatu metode dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu atau yang menyangkut kebijaksanaan tertentu.[4]
Sebagai aliran filsafat,pragmatisme berpendapat bahwa pengetahuan dicari bukan sekadar untuk tahu demi tahu, melainkan untuk mengerti masyarakat dan dunia. Pengetahuan bukan sekedar objek pengertian, perenungan, atau kontemplasi, tetapi untuk berbuat sesuatu bagi kebaikan, peningkatan serta kemajuan masyarakat dan dunia. Pragmatisme lebih memprioritaskan tindakan daripada pengetahuan dan ajaran; dan kenyataan pengalaman hidup dilapangan dari pada prinsip muluk-muluk yang melayang diudara. Oleh karena itu, prinsip untuk menilai pemikiran, gagasan, teori, kebijakan, pernyataan tidak cukup hanya berdasarkan logisnya dan bagusnya rumusan-rumusan, tetapi berdasarkan dapat tidaknya dibuktikan, dilaksanakan dan mendatangkan hasil. Dengan demikian, menurut kaum pragmatis, otak berfungsi sebagai pembimbing perilaku manusia. Pemikiran, gagasan, teori merupakan alat dan perencanaan untuk bertindak. Kebenaran segala sesuatu diuji lewat dapat tidaknya dilaksanakan dan direalisasikan untuk membawa dampak positif, kemajuan dan manfaat.
Berdasarkan pendirian diatas, dalam etika, kaum pragmatis berpendapat bahwa yang baik adalah yang dapat dilaksanakan dan dipraktekkan, mendatangkan yang positif dan kemajuan hidup. Karena itu, baik buruknya perilaku dan cara hidup dinilai atas dasar pragmatisnya, akibat tampaknya, dampak positifnya, manfaatnya bagi orang yang bersangkutan dan dunia sekitarnya. Usaha etis adalah mencari gagasan dan teori yang dapat dilaksanakan serta membawa akibat nyata dan positif dalam kehidupan. Diluar itu, usaha etis merupakan usaha yang sia-sia.
Pendirian pragmatis mungkin lahir sebagai tanggapan kecewa terhadap kenyataan hidup yang ada. Rasa kecewa muncul karena mendapati berbagai tindakan tidak konsisten dan konsekuen dalam hidup. Tidak dapat disangkal misalnya, bahwa tidak sedikit penganut agama yang perihidupnya jauh, jika malah tidak bertolak belakang dari ajaran dan semangat imannya. Dari kenyataan ini muncul pertanyaan : Apa guna agama bila tidak mampu membuat penganutnya menjadi lebih baik ? Misalnya lagi, dalam masyarakat banyak orang baik. Akan tetapi, kebaikan tampaknya berhenti pada dan untuk dirinya sendiri saja, serta tidak memiliki daya kreatif dan inovatif bagi lingkungannya. Kemudian, pertanyaannya: Apa gunanya menjadi orang baik bila tidak membawa kebaikan bagi sesama? Masih, misalnya bagi banyak pejabat, tokoh, agama pandai memberi nasihat moral etis tinggi-tinggi. Sayang, nasihat itu bukan untuk diri sendiri, melainkan berlaku untuk orang lain saja. Lalu pertanyaannya: apa baiknya tahu banyak tentang moral dan etika jika hidupnya sendiri tidak bermoral dan etis? Banyak orang dapat berpikiran hebat dan berteori tinggi untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah kehidupan. Namun, pertanyaannya lalu untuk apa pikiran dan teori itu bila berhenti sebagai pikiran dan teori muluk-muluk dan tak jalan dilapangan. Banyak orang sudah menyelesaikan sekolah, tetapi tak menjadi terpelajar, gagal menjadi manusia terdidik, kreatif, inovatif, produktif, dan tak mencapai tujuan kemanusiaannya menjadi manusia utuh. Akan tetapi, soalnya dimana arti pendidikan bila lulusannya tidak barhasil menjadi manusia.
Pragmatisme mungkin juga muncul dari hati tulus dan kehendak baik untuk terlibat dan mau memberi sumbangan nyata bagi kemajuan dan kesejateraan dunia. Untuk itu, kaum pragmatis tidak puas dengan pembicaraan dan rapat-rapat yang hanya berjalan lancar, isi pembicaraan bermutu dan barakhir dengan kesimpulan, pernyataan, dan sumbang saran bagus. Mereka mau lebih: Apa yang dibuat sesudah pembicaraan dan rapat? Wacana dan kata harus operatif. Kaum pragmatis tidak berhenti pada perumusan pemikiran, gagasan, teori, pernyataan, tetapi mengaitkan semua itu dengan tindakan nyata. Meraka tidak merasa cukup dengan berbagai nasehat moral etis, tetapi berbuat dan bertindak nyata, jika perlu lewat gerakan, untuk mengubah dan memperbaiki keadaan masyarakat dan dunia.
Sikap kaum pragmatis itu jelas ditentang oleh kaum teoretikus dan kaum intelektual, serta dicap dangkal, tak mau berpikir mendalam, anti kegiatan spekulatif intelektual. Namun, pada tingkatnya, pragmatisme baik secara umum maupun secara khusus dibidang etis menyumbang sesuatu pragmatisme menekankan kesederhanaan, kemudahan, kepraktisan, dampak positif langsung dan manfaat. Hal-hal yang ditekankan dalam paham pragmatis itu merupakan unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam mengurus hal-hal sederhana dan dalam situasi hidup dimana dicari langkah-langkah kerja yang tidak rumit dan kecepatan pengurusan serta selesainya perkara lebih diinginkan.
Akan tetapi, sebagai aliran fisafat, pragmatisme mengandung kelemahan-kelemahan. Pragmatisme mempersempit kebanaran menjadi terbatas pada kebenaran yang dapat diperaktekkan dilaksanakan, dan membawa dampak nyata. Dengan mempersempit kebenaran itu, pragmatime menolak kebenaran yang tak dapat langsung diperaktekkan, padahal banyak kebenaran yang tak dapat langsung dipraktekan. Paham manusia seutuhnya adalah contoh sederhana. Bagaimana paham ini dapat diperaktekan langsung? Padahal sebagai kebenaran tak terbantahkan.
Sebagai paham etis pragmatisme menyatakan bahwa yang baik adalah yang dapat diperaktekkan, berdampak positif dan bermanfaat. Pertama, ada kebaikan yang dilihat dari manfaatnya tak dapat dimengerti. Misalnya, kesetiaan suami-istri yang masih terus dipertahankan meski pasangan jelas-jelas sudah tidak cocok. Kedua, kebaikan yang bila dilaksanakan malah mencelakakan. Misalnya, karena melaksanakan hukum etis ”jangan mencuri”, orang malah mati kelaparan. Karena itu, ”baik” tak selalu dapat disamakan dengan ”dapat dilaksanakan” dan ”mendatangkan dampak positif”. Ketiga, antara kebaikan dan pelaksanaan tidak ada hubungan langsung. Untuk melaksanakan kebaikan perlu dukungan situasi, kondisi, sarana dan prasarana, serta ada kemauan dari pelakunya. Karena itu, ada kebaikan yang tak dapat dipraktekkan karena tak ada dukungan dan kemauan. Meski tak dapat dilaksanakan, kebaikan itu tetap baik. Misalnya, kebersihan dalam arti tidak korupsi. Kebersihan itu baik, tetapi di negara di mana korupsi sudah menjadi budaya tak mungkin diwujudkan. Meskipun demikian, kebersihan tetap baik.[5]
C. Tokoh-Tokoh Pragmatisme
Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1893-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
• Charles Sanders Peirce (1893-1942)
Adalah seorang filsuf, ahli logika, semiotika, matematika dan ilmuwan Amerika Serikat, yang lahir pada tanggal 10 September 1839-19 April 1914 di Cambridge, Massachusetts.
Peirce dididik sebagai seorang kimiawan dan bekerja sebagai ilmuwan selama 30 tahun. Tapi, sebagian besar sumbangan pemikirannya berada di ranah logika, matematika, filsafat, dan semiotika (atau semiologi) dan penemuannya soal pragmatisme yang dihormati hingga kini.
Pada 1934, filsuf Paul Weiss menyebut Peirce sebagai "filsuf Amerika paling orisinal dan berwarna dan logikawan terbesar Amerika".
Charles mempunyai gagasan bahwa suatu hipotesis (dugaan sementara/ pegangan dasar) itu benar bila bisa diterapkan dan dilaksanakan menurut tujuan kita. Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American Literary Thought (1974) menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan (merumuskan) tiga prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme sebagai berikut :
a) Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih daripada kemurnian opini manusia.
b) Bahwa apa yang kita namakan “universal“ adalah yang pada akhirnya setuju dan menerima keyakinan dari “community of knowers “
c) Bahwa filsafat dan matematika harus di buat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang nyata bagi masyarakat (komunitas).
• William James (1842-1910)
Adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat yang terkenal sebagai salah seorang pendiri Mazhab Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, James juga terkenal sebagai seorang psikolog. Ia dilahirkan di New York pada tahun 1842. Setelah belajar ilmu kedokteran di Universitas Harvard, ia belajar psikologi di Jerman dan Perancis. Kemudian ia mengajar di Universitas Havard untuk bidang anatomi, fisiologi, psikologi dan filsafat hingga tahun 1907. Pada tahun 1910 ia meninggal dunia.
William selain menamakan filsafatnya dengan “pragmatisme”, ia juga menamainya “empirisme radikal”. Menurut James, pragatisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan perantaraan yang akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu asal saja membawa akibat praktis, misalnya pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistik, semuanya bisa diterima sebagai kebenaran, dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Sedangkan empirisme radikal adalah suatu aliran yang harus tidak menerima suatu unsur alam bentuk apa pun yang tidak dialami secara langsung.
Dalam bukunya The Meaning of The Truth, James mengemukakan tidak ada kebenaran mutlak yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal, melainkan yang ada hanya kebenaran-kebenaran ‘plural’. Yang dimaksud kebenaran-kebenaran plural adalah apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Menurut James, terdapat hubungan yang erat antara konsep pragmatisme mengenai kebenaran dan sumber kebaikan. Selama ide itu bekerja dan menghasilkan hasil-hasil yang memuaskan, maka ide itu bersifat benar. Suatu ide dianggap benar apabila dapat memberikan keuntungan kepada manusia dan yang dapat dipercayai tersebut membawa kearah kebaikan.
Di samping itu pula, William James mengajukan prinsip-prinsip dasar terhadap pragmatisme,sebagaiberikut:
a) Bahwa dunia tidak hanya terlihat menjadi spontan, berhenti dan tak dapat di prediksi tetapi dunia benar adanya.
b) Bahwa kebenaran tidaklah melekat dalam ide-ide tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide dalam proses yang dipakai dalam situasi kehidupan nyata.
c) Bahwa manusia bebas untuk meyakini apa yang menjadi keinginannya untuk percaya pada dunia, sepanjang keyakinannya tidak berlawanan dengan pengalaman praktisnya maupun penguasaan ilmu pengetahuannya.
d) Bahwa nilai akhir kebenaran tidak merupakan satu titik ketentuan yang absolut, tetapi semata-mata terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada kebenaran-kebenaran yang lain tentang dunia tempat kita tinggal didalamnya (Horton dan Edwards, 1974:172).[6]
• John Dewey (1859-1952)
John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, pendidik dan pengkritik sosial yang lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859. Dewey kecil adalah seorang yang gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme.
Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Pada tahun 1894-1904 ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat di Universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah.
Menurutnya, tujuan filsafat adalah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara lebih baik. Tegasnya, tugas fiilsafat yang utama ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience), dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun suatu system norma-norma dan nilai.[7]
DEWEY DAN SUMBANGANNYA BAGI PENDIDIKAN
Pragmatisme yakin bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin memiliki, tidak pasif dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannya secara empiris.
Pragmatisme mengajarkan bahwa bahwa tujuan semua berfikir adalah kemajuan hidup. Dibalik semua gambaran berfikir terdapat tujuan tertentu untuk memajukan dan memprkaya kehidupan, walaupun kita tidak menyadarinya, semua kebenarannya mengandung watak pragmatis. Secara khusus pragmatisme mengemukakan bahwa ide yang benar tergantung pada konsekuensi yang di observasi secara objektif dan ide tersebut opersional.
Menurut Dewey terdapat dua teori pendidikan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Kedua teori pendidikan tesebut adalah paham konservatif dan “unfolding Theori” (teori pemerkahan). Teori konservatif mengemukakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu pembentukan terhadap pribadi anak tenpa memperhatikan kekuatan-kekuatan atau potensi-potensi yang ada pada diri anak. Unfolding theory berpandangan bahwa anak akan berkembang dengan sendirinya, karena ia telah memiliki kekuatan toten, dimana perkembangan si anak telah memiliki tujuan yang pasti.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan diposisi inteligensi yang terkonstitusi.
Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisinya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib. Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi.
Dewey memandang bahwa tipe Pragmatismenya di asumsikan sebagai sesuatu yang mempunyai jangkauan aplikasi dalam masyarakat. Contoh hal tersebut adalah bahwa Dewey menawarkan dua metode pendekatan dalam pengajaran yaitu:
· Problem Solving Method
Dengan metode ini, anak di hadapkan pada berbagai situasi dan masalah-masalah yang menantang, dan anak didik diberi kebebasan sepenuhnya untuk memecahkan masalah-masalah tersebut sesuai dengan perkembanganya. Dengan metode semacam ini, tidak hanya mengandalkan guru sebagai pusat informasi (metode pedagogy) di ambil alihlah oleh methode andragogy (studi tentang aturan) yang lebih menghargai perbedaan individu anak didik.
· Learning By Doing
Konsep yang sangat di perlukan bagi anak didik supaya anak didik tetap bisa eksis dalam masyarakat bila telah menyelesaikan pendidikannya maka mereka dibekali keterampilan-keterampilanpraktis sesuai dengan kebutuhan masyarakat sosial.[8]
D. Kekuatan Dan Kelemahan Pragmatisme
1. Kekuatan Pragmatisme
a) Kemunculan pragmatism sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemnjuan yang pesat bagi ilmu pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme telah berhasil membumikan filsafat dari corak sifat yang Tender Minded yang cenderung berfikir metafisis, idealis, abstrak, intelektualis. Dengan demikan, filsafat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekedar mempercayai (belief) pada hal yang sifatnya riil, indriawi, dan yang manfaatnya bisa di nikmati secara praktis dalam kehidupan sehari-hari.
b) Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada. Pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen sehingga munculllah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di badang sosial dan ekonomi.
c)Sesuai dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercyaan yang diterima apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos.
2. Kelemahan Pragmatisme
a) Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolute (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara alamiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu diciptakan oleh manusia sendiri, secara tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang transcendental (bahwa Tuhan jauh di luar alam semesta). Kemudian pada perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada ateisme.
b) Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis. Manusia berusaha secara keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhaniah. Maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah di hinggapi oleh penyakit matrealisme.
c) Untuk mencapai matrealismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara tanpa memperdulikan lagi dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu sekedar memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya, manusia hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.[9]
Daftar Pustaka
Mangunhardjana, A, Isme-Isme dari A Sampai Z, Yogyakarta: Kanisius,1997.
Achmadi, Asmoro., Filsafat Umum, Jakarta: PT RajaGrafindo,1995.
Suparalan, Supartono., Sejarah Pemikiran Filsafat Moderen, Yogyakarta: AR-RUZZ, 2005.
Sadullah, Uyah,. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfaberta, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar